BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pendidikan Islam adalah jenis pendidikan
yang memberikan perhatian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai
pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakan (Islam ditempatkan sebagai
bidang studi, sebagai ilmu, dan diperlakukan sebagaimana ilmu yang lain). Bukan
hanya itu, pendidikan Islam juga merupakan bagian dari sumber nilai-nilai agama
yang harus diaplikasikan dalam kehidupan manusia. Dalam menghadapi perkembangan
zaman saat ini pendidikan islam sering dihadapkan pada situasi yang kian rumit.
Banyak tantangan yang harus dihadapi mulai dari proses pelaksanaan pendidikan
hingga bagaimana menciptakan output yang sesuai dengan keinginan masyarakat
pada umumnya. Pendidikan islam dituntut untuk mampu memberikan sumbangsih
pemikiran dalam segala hal.
Oleh karenanya, pendidikan islam harus
memiliki visi dan misi serta pemimpin yang mampu menciptakan insan-insan yang
ulul albab. Dalam system manajemen dan kepemimpinan pendidikan
islam, keberadaan visi dan misi menempati posisi penting. Visi harus dirumuskan
lebih awal yang kemudian dituangkan dalam misi, yaitu program-program dan
kegiatan-kegiatan untuk mewujudkan visi tersebut, dan lebih jauhnya adalah
menyusun program aksi di dalam sebuah rencana yang matang dan fleksibel
untuk dapat dilaksanakan dalam jangka
waktu tertentu secara bertahap. Visi dan misi pendidikan islamyang merupakan
harapan, cita-cita, dan tujuan pendidikan islam, pada dasarnya dibangun dari
nilai-nilai islam dan hasil analisa terhadap keberadaan pendidikan islam.
1.2.
Rumusan Masalah
Dari uraian di atas maka kami merumuskan
permasalahan dalam sub-bab yaitu sebagai berikut:
1.
Apa
yang dimaksud Visi dan Misi, serta bagaiman visi dan misi pendidikan islam?
2.
Bagaimana
karakteristik pendidikan islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Visi
dan Misi Pendidikan Islam
1. Makna Visi dan
Misi dalam Pendidikan Islam
Secara
sederhana, visi dapat diartikan sebagai, keinginan, cita-cita, harapan dan
impian tengtang masa depan. Sementara itu misi merupakan perwujudan lebih jauh
dari visi. Visi dan misi merupakan aspek yang harus diperhatikan dalam proses
kepemimpinan dan manajemen. Perencanaan yang baik misalnya harus mengandung
beberapa komponen diantaranya adalah visi dan misi yang memberikan arah dan
sekaligus motivasi serta kekuatan gerak bagi seluruh komponen yang terlibat
langsung maupun tidak langsung dalm pengembangan organisasi.
Selain
itu visi dan misi juga dipandang sangat pentinguntuk menyatukan persepsi,
pandangan dan cita-cita, harapan, dan bahkan impian semua pihak yang terlibat
didalamnya. Keberhasilan dan reputasi organisasi sangat tergantung pada sejauh
mana misi yang diembannya dapat dipenuhi. Oleh karenanya, sebuah organisasi
memerlikan visi dan misi yang jelas dan dapat memberikan motivasi dan kekuatan
gerak untuk mencapai prestasi menuju masa depan dengan berbagai keunggulannya.
Dalam
system manajemen dan kepemimpinan pendidikan islam, keberadaan visi dan misi
menempati posisi penting. Visi harus dirumuskan lebih awal yang kemudian
dituangkan dalam misi, yaitu program-program dan kegiatan-kegiatan untuk
mewujudkan visi tersebut, dan lebih jauhnya adalah menyusun program aksi di
dalam sebuah rencana yang matang dan fleksibel untuk dapat dilaksanakan dalam jangka waktu
tertentu secara bertahap. Visi dan misi pendidikan islam yang merupakan
harapan, cita-cita, dan tujuan pendidikan islam, pada dasarnya dibangun dari
nilai-nilai islam dan hasil analisa terhadap keberadaan pendidikan islam. A. syafei ma’arif (dalam Muslih Asa, ed:155) merumuskan visi pendidikan islam, yaitu
“manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam
moral dan kebijakan”.
Dalam
konteks pendidikan Nasional, Tilaar (2000:
149) merumuskan visi pendidikan islam, yakni mewujudkan manusia Indonesia yang
takwa dan produktif sebagai anggota masyarakat Indonesia yang ber-Bhineka.
Sementara misi pendidikan islam menurut Tilaar
ialah perwujudan dari misi, yaitu mewujudkan nilai-nilai keislaman didalam
pembentukan manusia Indonesia. Manusia Indonesia yang dicita-citakan adalah manusia yang shaleh dan produktif.
Abad ke-21 menuntut kedua kualitas manusia semacam ini. Seperti yang di
kemukakan mengenai trend abad 21, agama dan intelek akan saling bertemu.
Manusia Indonesia yang dicita-citakan adalah manusia yang takwa dan beriman
sekaligus produktif dengan mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi bagi
peningkatan taraf hidupnya.
Malik Fadjar merumuskan
bahwa pendidikan islam dapat menjadi
alternatif apabila dia memenuhi empat tuntutan sebagai berikut:
1. Kejelasan
cita-cita dengan langkah-langkah yang operasional di dalam usaha mewujudkan
cita-cita pendidikan islam;
2. Memberdayakan
kelembagaan dengan menata kembali sistemnya;
3. Meningkatkan
dan memperbaiki manajemen;
4. Peningkatan
mutu sumber daya manusia.
2.
Pemimpin
visioner
Pemimpin
visioner adalah pemimpin yang memiliki dan selalu berorientasi kedepan, apa
yang ingin diwujudkan di masa depan dari realitas yang sedang dihadapi. Bagi
pemimpin visioner, tatkala melihat batu misalnya, maka di beneknya tergambar
keinginan untuk membuat rumah yang besar dan megah.
Pemimpin
yang visioner itu penting dan akan menentukan hidup matinya sebagai organisasi.
Ini dapat dipahami dari alasan berikut:
a. Adanya
perubahan lingkungan yang cenderung sulit diramalkan. Sulitnya membuat ramalan
menyebabkan rencana strategis organisasi sering tidak cocok lagi dengan
lingkungan yang sudah berubah.
b. Rencana
strategis organisasi akhirnya digantikan oleh visi organisasi yang lebih
fleksibel dalam menghadapi perubahan lingkungan.
Untuk
menghadapi perubahan-perubahan lingkungan yang diramalkan tersebut dan upaya
menyusun visi baru yang lebih fleksibel, diperlukan pemimpin masa depan yang
visioner, yaitu pemimpin yang:
1. Mendorong
setiap anggota organisasi untuk mengidentifikasi masalah dan kemudian
memecahkannya.
2. Memaksimalkan
energy dengann cara: keluar dari situasi status quo dan tidak terlalu bersikap
kompromistis, menghasilkan keputusan yang berkualitas, mencapai target hasil
yang maksimal dengan teknk dan metode yang sama sekali baru.
3. Mengolah
data dan informasi dengan cepat.
4. Menyajikan
informasi yang benar dan mudah di cerna.
5. Mahir
dalam berkomunikasi.
6. Mengajak
anggota organisasi untuk berfikir dan bertindak menurutagenda kegiatan mereka.
7. Mengolah,
melatih dan menggunakan intuisi untuk mengambil keputusan.
Pemimpin
visioner menurut Tri Darmayanti (tt.:203)
perlu melakukan lima peran sebagai berikut; pertama,
peran merumuskan visi ( the vision
role); kedua, peran menjalin
hubungan (the relationship roles); ketiga, peran mengendalikan (the control role); keempat, peran melakukan dorongan (the encourage role); kelima,
peran sebagai pemberi informasi (the
information role.
Pemimpin harus merumuskan visi sendiri dengan
melibatkan orang atau tim untuk membantu
merumuskannya. Visi dapat memut sasaran kuantitatif misalnya target yang
dinyatakan dengan presentase (%), atau dapat menyatakan tahun pencapaian, dan
dapat pula hanya menggambarkan kondisi dimasa depan yang akan di capai.
B.
KARAKTERISTIK
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan
islam sebenarnya memiliki cakupan yang cukup luas, seperti yang dikemukakan Zarkowi Soejoeti (1986), pendidikan
islam didefinisikan dalam tiga pengertian, yakni: pertama, pendidikan islam adalah jenis pendidikan yang pendirian
dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk
menngejewantahkan nilai-nilai islam; kedua,jenis
pendidikan yang memberikan perhatian yang sekaligus menjadikan ajaran agama
islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakan; ketiga, jenis pendidika yang mencakup
kedua pengertian di atas.
Secara
kelembagaan, terutama dalam konteks Indonesia, pembicaraan mengenai pendidikan
islam sebenarnya lebih diwarnai oleh dua model pendidikan, yakni pendidikan
dalam bentuk pasantren dan pendidikan madrasah. Sebab itu lebh jauh
karakteristik kedua lembaga ini akan diuraikan dalam pembahasan di bawah ini.
1.
Karakteristik
pondok pesantren
a.
Tinjauan
umum pesantren
Pada
dasarnya pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan islam yang dikelola
secara konvensional dan dilaksanankan dengan system asrama (pondok) dengan kyai
sebagai sentra utama serta mesid sebagai pusat lembaganya (Syarif, 1983:5). Dalam studinya, Rahardjo (1985) menyimpulkan bahwa sejak awal pertumbuhannya, pesantren
mempunyai bentuk yang beragam sehingga tidak ada suatu standarisasi yang
berlaku bagi semua pesantren. Namun demikian dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan pesantren tampak adanya pola umum, yang diambil dari makna
peristilahan pesantren itu sendiri yang menunjukkan adanya suatu pola tertentu
(Sunyoto, 1990:12).
Pada
perkembangan selanjutnya menurut Saridjo
(1985:10) pondok pesantren telah berkembang dan merupakan lembaga gabungan
antara system pondok dan pesantren, yang memberikan pendidikan dan pengajarana
agama islam dalam system non klasik, sedang santrinya dapat dapat bermukim di
pndok yang disediakan atau merupakan santri
kalong (santri yang tidak bermukim di pondok). Pondok pesantren inipun pada
gilirannya menyelenggarakan system pendidikan klasikal baik yang bersifat
pendidikan umum maupun agama yang lazim disebut madrasah.
Karakteristik
lain yang melekat pada pondok pesantren menurut K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi (1999:221) adalah adanya system nilai
dalam pesantren yang menjadi jiwa filsafat hidup serta orientasi pendidikan
pesantren pada umumnya, seperti keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah
islamiyah, dan kebebasan.
b.
Tipologi
pondok pesantren
Secara
garis besar, lembaga pesantren dapat digolongkan menjadi dua tipologi, yaitu
tipologi, yaitu tipe pesantren salafi dan
tipe pesantren khalafi (Yacub, 1984:36). Pesantren salafi yaitu
pesantren yang tetpa mempertahankan
system (materi pengajaran) yang sumbernya kitab-kitab klasik islam atau kitab
dengan huruf arab “gundul”. System sorogan (individual) menjadi sendi utama
yang diterapkan. Pengetahuan non agama tidak diajarkan. sementara pesantren khalafi yaitu system pesantren yang
menerapkan system madrasah, yaitu pengajaran secara klasikal, dan memasukan
pengetahuan umum dan bahasa non Arab dalam kurikulum. Dan pada akhir-akhir ini
menambahkan dengan berbagai keterampilan.
Sementara
itu Ziemek mengadakan klasifikasi
jenis-jenis pesantren yang berdasarkan kelengkapan unsur-unsur pesantren dalam
hal ini diasumsikan bahwasemakin lengkap unsure yang mendasari suatu pesantren,
maka pesantren itu meiliki tingkatanyang tingggi. Tipe-tipe pesantren berdasarkan
klasifikasi di atas adalah sebagai berikut:
1) Pesantren
yang paling sederhana;
2) Pesantren
yang lebih tinggi tingkatannya;
3) Pesantren
yang di tambah dengan lembaga pendidikan;
4) Pesantreen
yang memiliki fasilitas lengkap
5) Pesantren
yang besar dan berfasilitas lengkap, biasanya memiliki induk dan cabang;
Menurut
Mastuhu (1994:66-67); beberapa
dasawarsa terakhir ini terjadi pergeseran yang dialami oleh pesantren. Beberapa
indikator pergeseran yang dialami oleh pesantren antara lain:
a) Kyai
bukan lagi satu-satunya sumber belajar
b) Dewasa
ini hampir seluruh pesantren yang menyelenggarakan jenis-jenis pendidikan
formal yaitu, madrasah, sekolah umum, dan perguruan tinggi
c) Seiring
dengan pergeseran pola tersebut, santri memerlukan atau keahliah yang jelas
d) Santri
cenderung semakin kuat untuk mempelajari sains dan teknologi
e) Belajar
dengan biaya sudah memasuki dunia pendidikan
f) Dikenalnya
model pesantren yang berkelas.
c.
Karakteristik
pengelolaan pendidikan pesantren
Di
samping telah terjadi pergeseran pada pesantren seperti yang disebutkan di
atas, karakteriistik pesantren yang mengarah pada fiqh-sufistik dalam maknanya yang sempit, dewasa ini juga brelatif
banyak. Pandangan sufistik yang bersifat teosentris ini sangat menekankan dan
lebih memilih “budaya hidup asketis” yang disimbolkan oleh pola hidup
kesederhanaan baik secara sosial maupun ekonomi. Komunitas pesantren terutama
disimbolkan para santri, sangat menekankan kehidupan model sufistik ini, mulai
dari soal pakaian, tempat tidur, ruang belajar, tempat memasak, kamar mandi,
selain bersifat sangat sederhana juga tampak “kotor”. Jadi ketika mereka
memahami bagaimana cara-cara hidup sehat maka cenderung berkonotasi “spiritual”
(Mastuhu, 1999; 127-129)
Selanjutnya
untuk melihat karakteristik pengelolaan pesantren serta usaha-usaha yang telah
dilakukan dalam beberapa pesantren terhadap pembahruan system pendidikan san
pengelolaannya dapat dibandingkan antara dulu, sekarang dan kecenderungan mendatang,
antara lain dapat dideskripsikan sebagai berikut (Mastuhu, 1994; 154-157)
Dinamika System
Pendidikan Pesantren Dulu, Sekarang dan Mendatang
No
|
hal
|
Tradisionalis
|
Sekarang dan mendatang
|
1
|
Status
|
-
Uzlah
-
Milik
pribadi
|
-
Sub
system pendidikan nasional
-
Milik
institusi/yayasan
|
2
|
Jenis
pendidikan
|
-
Pesantren
non formal (PNF)
|
-
Pesantren
(PNF)
-
Madrasah
-
Sekolah
Umum (PF)
-
Perguruan
Tinggi (PF)
|
3
|
Sifat
|
-
Bebas
waktu, tempat, bebas biaya & syarat
|
-
Masih
berlaku bagi PNF dan tidak berlaku untuk PF
|
4
|
Tujuan
|
-
Agama
(ukhrawi)
-
Memahami
dan meng- amalkan secara tekstual
|
-
Agama
(duniawi)
-
Memahami
dan mengamalkannya sesuai dengan tempat dan zamannya
|
5
|
Bahasa
pengantar
|
-
Arab
-
Daerah
|
-
Indonesia
-
Daerah
-
Arab
-
Inggris
|
6
|
Kepemimpinan
|
-
Karismatik
|
-
Rasional
|
7
|
Corak
Kehidupan
|
-
Fikih-Sufistik
-
Orientasi
Ukhrawi
-
Sakral
-
Manusia
sebagai objek (fatalistik)
|
-
Fikih-sufistik+ilmu
-
Ukhrawi
+ dunia
-
Sakral
+ profan
-
Manusia
sebagai objek + subjek (vitalistik)
|
8
|
Perpustakaan dokumentasi dan alat
pendidikan
|
-
Tidak
ada
-
Manual
|
-
Ada
-
Manual,
Elektronika
-
Computer,
dst
|
9
|
Air
|
-
“dua
kullah”
|
-
Kran/ledeng
|
10
|
Asrama
|
-
Hidup
bersama menerima, memiliki ilmu dan mengamal- kannya
|
-
Hidup
bersama
-
Dialog
-
Menjadikan
ilmu sebagai sarana pengembangan diri
|
11
|
Pengurus
|
-
Mengabdi
Kyai
|
-
Bertanggung
jawab pada unit kerjanya
-
Membeikan
masukan/perimbangan Kyai
|
Jika
identifikasi dari sejumlah pesantren yang ada, berdasarkan penelitian yang
dilakukan Mastuhu, memiliki
nilai-nilai atau butir-butir positif, butir-butir negatif, dan butir-butir plus
minus. Butir-butir positif perlu dikembangkan dalam system pendidikan Islam
secara luas. Kemudian butir-butir negative tidak perlu dikembangkan baik dalam
pesantren atau system pendidikan Islam secara umum, tetapi sebelumnya harus
disempurnakan lebih dulu, butir-butir tersebut adalah :
1) Butir-butir
positif pesantren yang perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan Islam
a) Pandangan
pesantren bahwa manusia dilahirkan menurut fitrahnya masing-masing.
b) Pandangan
bahwa tugas melakukan pendidikan dipandang sebagai ibadah.
c) Hubungan
yang baik saling menghormati antara guru dan murid.
d) Lembaga
pendidikan pesantren dipandang sebagai tempat mencari ilmu dan mengabdi, bukan
sebagai tempat mencari kelas dan ijazah.
e)
Metode belajar halaqah dan sorogan ( disesuaikan dengan zamannya)
f)
Nilai pendidikan
dengan sistem asrama
g)
Pandangan hidup
jangka panjang dan menyeluruh
2) Butir-butir
negatif sistem pesantren yang tidak perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan
pesantren:
a) Pandangan
bahwa ilmu adalah hal yang sudah mapan dan dapat diperoleh melalui berkah kyai.
b) Pandangan
tidak kritis yang menyatakan bahwa apa-apa yang diajarkan kyai,ustaz, dan
kitab-kitab agama yang diterima sebagai kebenaran yang tidak perlu
dipertanyakan lagi.
c) Pandangan
bahwa kehidupan ukhrawi paling penting, sedang kehidupan duniawi dipandang
tidak atau kurang penting.
d) Metode
belajar dengan menghafal dan pemikiran tradisional yang diterapkan untuk semua
ilmu.
e) Kepatuhan
mutlak pada guru dan pada kehidupan kolektif (asrama). Sehingga dapat
menghambat perkembangan individualitas (jati diri) dan menghambat timbulnya
berpikir kritis.
f) Pandangan
hidup fasilistis yang menyerahkan nasib kepada keadaan, dan perilaku sacral
dalam menghadapi berbagai realita kehidupan keduniawian sehari-hari.
3) Butir-butir
plus-minus pesantren perlu dikembangkan lebih lanjut dalam sistem pesantren dan
sistem pendidikan Islam secara umum.
a) Sistem
asrama
b) Metode
halaqah
c) Jenis
kepemimpinan
2.
Karakteristik
Madrasah
a.
Tinjauan
Umum Madrasah
Keberadaan
madrasah seperti sekarang ini merupakan akumulasi berbagai macam budaya dan
tradisi pendidikan yang berkembang di Indonesia. Mulai dan tradisi pra-sejarah
atau tradisi asli, tradisi hindu-budha, tradisi Islam, dan tradisi barat atau
modern (Malik Fadjar,1998:19), oleh
sebab itu, madrasah telah menjadi salah satu wujud entitas budaya bangsa
Indonesia yang telah menjalani proses sosialisasi yang relatif intensif dan
dalam waktu yang cukup panjang itu telah memainkan peran tersendiri dalam
panggung pembentukan peradaban bangsa.
Sebelum
terbentuk sistem madrasah, pada awalnya proses pendidikan dan pengajaran
dilaksanakan di masjid dan pesantren. Setelah terbuka dan semakin kuatnya
proses pembentukan “Intelektual Webs”
(jaringan intelektual) di kalangan umat islam dengan haramain sebagai sumber
tempat yang “asli” nuansa mistik yang kental di pondok pesantren lambat laun
semakin berkurang dan bergerak ke arah proses ortodoksi, atau oleh pengamat
peradaban di Indonesia menyebut adanya proses bergerak dari islam yang bercorak
mistik menuju ke Islam Sunni ( Malik
Fadjar, 1998: 22 ).
Dalam
perkembangan selanjutnya, terutama dua dekade terakhir ini, madrasah mengalami
polarisasi pengembangan seiring dengan tuntutan zamannya, berbagai macam
kebijakan telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengembangkan madrasah ini,
yang antara lain adalah diterapkannya madrasah aliyah program khusus (MAPK) pada
tahun 1987, yang kemudian diganti namanya menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan
(MAK) pada thun 1994.
b.
karakteristik
Madrasah : kekuatan, kelemahan, dan peluang
Sebagai
lembaga pendidikan yang mempunyai cirri khas Islam, madrasah memegang peran
penting dalam proses pembentukan kepribadian anak didik, karena melalui
pendidikan madrasah ini pada orang tua berharap agar anak-anaknya memiliki dua
kemampuan sekaligus, tidak hanya pengetahuan umum ( IPTEK ) tetapi juga
memiliki kepribadian dan komitmen yang tinggi terhadap agamanya (IMTAK ). Oleh
sebab itu jika memahami benar harapan orang tua ini maka sebenarnya madrasah
memiliki prospek yang cerah.
Di
sisi lain, jika dilihat dari kesejarahnya, madrasah memiliki akar budaya yang
kuat di tengah-tengah masyarakat, sebab itu madrasah sudah menjadi milik
masyarakat. Apabila dewasa ini banyak ahli berbicara tentang inovasi pendidikan
nasional untuk melahirkan pendidikan yang dikelola masyarakat ( community based
management ), maka madrasah dan termasuk juga pesantren merupakan model dari
pendidikan tersebut.
Akan
tetapi, menurut Malik Fadjar (1998:35)
dari sekian puluh ribu madrasah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air ini
sebagian besar masih bergumul dengan persoalan berat yang sangat menentukan
hidup dan matinya madrasah, sehingga nilai tawar semakin rendah dan semakin
termaginalkan.
Jika
dilihat dari kecenderungan atau gejala sosial baru yang terjadi di masyarakay
akhir-akhir ini yang berimplikasi pada tuntutan dan harapan tentang model
pendidikan yang mereka harapkan, maka sebenarnya madrasah memiliki potensi dan
peluang besar untuk menjadi lternatif pendidikan masa depan. Kecenderungan
tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
Pertama,terjadinya
mobilitas sosial yakni munculnya masyarakat menengah baru terutama kaum
intelektual yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan pesat. Kelas menengah
baru senantiasa memiliki peran besar terhadap transformasi sosial. Di bidang
pendidikan misalnya, akan berimplikasi pada tuntutan terhadap fasilitas
pendidikan yang sesuai aspirasinya, baik cita-citanya maupun status sosialnya.
Karena itu lembaga pendidikan yang mampu merespons dan mengapresiasi tuntutan
masyarakat tersebuts secara cepat dan
cerdas akan menjadi pilihan masyarakat ini.
Kedua, munculnya
kesadaran baru dalam Beragama (santrinisasi), terutama pada masyarakat
perkotaan kelompok masyarakat menengah atas, sebagai akibat dari proses
re-islamisasi yang dilakukan secara intens oleh organisasi-organisasi keagamaan,
lembaga-lembaga dakwah, atau yang dilakukan secara perorangan. Terjadinya
santrinisasi masyarakt elit tersebut akan berimplikasi pada tuntutan dan
harapan akan pendidikan yang mengaspirasikan status sosial dan keagamaanya,
sebab itu pemilihan lembaga pendidikan pendidikan pada nantinya akan didasarkan
minimal pada dua hal tersebut, yakni status sosial dan agama (teologis).
Ketiga,arus
globalisasi dan modernisasi yang demikian cepat perlu disikapi secara arif.
Menghadapi modernisasi dengan berbagai macam dampaknya perlu dipersiapkan
manusia-manusia yang memiliki dua kompetensi sekaligus, yakni ilmu pengetahuan
dan tehnologi (IPTEK) dan nilai-nilai spiritual keagamaan (IMTAK). Kelemahan di
salah satu kompetensi tersebut menjadikan perkembangan anak
tidak seimbang, yng pada akhirnya akan menciptakan pribadi yang pincang (split
personality).
Alasan
masyarakat memilih lembaga pendidikan sendiri paling tidak ada didasarkan pada
lima kategori sebagai beriku :
Pertama,
alas an teologis. Alas an ini didasarkan pada kecenderungan global sekarang ini
dimana nilai-nilai agama dan moralitas menjadi taruhan seiring dengan arus
globalisasi tersebut, sebab itu orang tua berfikir agar bagaimana di tengah
arus globalisasi tersebut, sejak dini anak-anak sudah dibentengi dengan bekal
moralitas dan agama.
Kedua,
alasan sosiologis, berdasarkan alasan ini pemilihan lembaga pendidikan adalah
didasarkan pada seberapa jauh lembaga pendidikan dapat memenuhi peran-peran
sosiologis, yakni alokasi posisionil berupa kedudukan dan peran penting dalam
kehidupan sosial yang memungkinkan terjadinya mobilitas sosial, peran
mengukuhkan status sosial, dan peran untuk meningkatkan prestise seseorang di
masyarakat.
Ketiga,
alasan fisiologis, alasan ini didasarkan pada faktor-faktor eksternal yang
bersifat fisik, bersifat fisik, seperti letak dan kondisi geografis, bangunan
fisik, lingkungan pendidikan, sarana dan prasarana serta fasilitas pendidikan,
dan seterusnya.
Keempat,
alasan akademis. Alasan ini didasarkan pada prestasi dan performa lembaga
pendidikan yang menunjukkan bahwa lembaga pendidikan yang menunjukkan bahwa
lembaga pendidikan tersebut dikelola secara profesional.
Kelima,
alasan ekonomis. Alasan ini didasarkan pada tinggi rendahnya biaya pendidikan
di lembaga bersangkutan. Bagi masyarakat menengah ke bawah permasalahan biaya
menjadi masalah penting, sebaliknya bagi masyarakat elit tingginya biaya
pendidikan kadang menjadi ukuran bahwa lembaga pendidikan tersebut
unggul,elit,prestise dan menjanjikan.
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Secara
sederhana, visi dapat diartikan sebagai, keinginan, cita-cita, harapan dan
impian tengtang masa depan. Sementara itu misi merupakan perwujudan lebih jauh
dari visi. Visi dan misi merupakan aspek yang harus diperhatikan dalam proses
kepemimpinan dan manajemen. Perencanaan yang baik misalnya harus mengandung
beberapa komponen diantaranya adalah visi dan misi yang memberikan arah dan
sekaligus motivasi serta kekuatan gerak bagi seluruh komponen yang terlibat
langsung maupun tidak langsung dalam pengembangan organisasi.
Karakteristik
pendidikan islam bisa ditinjau dari pendidikan islam yang bersifat pesantren
dan madrasah. Dari kedua lembaga diatasa dapat dilihat bahwa pesantren
merupakan sistem pendidikan yang berorientasi pada pondok. Sedangkan madrasah
merupakan sistem pendidikan islam yang modern dan bentuknya pun sam persis
dengan lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah umum
3.2.
Saran
Dalam
kehidupan sehari- hari terkadang manusia tidak meperhatikan tingkah lakunya yang dapat merugikan dirinya
dan orang lain. Hal ini juga biasanya di pengaruhi oleh ekonomi, maka manusia
perlu satu kesatuan yang dapat melepaskan ia dari ancaman perubahan ini yaitu
iman.orang yang beriman pasti ia merasa selalun di awasi oleh Allah maka ia
tidak berani melakukan kejahatan itu.
Terlepas dari
kekuasaan tuhan tersebut maka manusia tetap sebagai tempat salah khilaf. Maka
dari itu kami selaku penulis sadar bahwa kami mempunyai banyak kekurangan dalam
masa pembuatan makalah ini, untuk itu kami mengharapkan kritikan atau saran
yang membangun jika kiranya para penulis mendapatkan kekurangan dala pembuatan
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Fadjar, A. Malik, Isi Pembaharuan Pendidikan Islam, Alfa
;Jakarta : Grafika Tama, 1998.
Nata,
Abudin, Manajemen pendidikan,
Jakarta: Kencana, 2003.