MENCARI TITIK TEMU DARI
BERBAGAI PERBEDAAN
Oleh : Komunitas Warung
Kopi (Che_Fikry’, Kamil, Eka)
kadang kita mengenal
demokrasi bagi gesekan-gesekan api panas yang siap meledakkan sbuah perdaban.
Moment itu terjadi ketika mengenal warna tapi tidak mampu memahami warna
tersebut ?. ada dikotomi dari beragam warna yang telah tersaji dari berbagai
gerakan dan dihimpun menjadi satu integritas. Menurut teman diskusi saya dibutuhkan
sebuah paradigma berpikir secara tuntas dan memilikki sebuah persfektif secara
relasional antar variable yang determinan yang sejalan, senada dan seirama
dalam menemukan sebuah sentrum dalam mengawal gagasan peradaban dan kebudayaan.
Jika kita
memahami segala konflik yang terjadi di Negara ini, baik yang antar suku, antar
kampung, antar aparat dan warga kampus. Pasti kita mampu mengambil sebuah
kesimpulan dari peristiwa-peristiwa yang
perna terjadi yaitu bahwa masyarakat kita tidak paham dengan konsep
multikulturalisme sehingga segala peristiwa berdarah yang terjadi di berbagai
daerah disemua level institusi kehidupan sosial hanya berlatar belakang
penyakit SARA (suku,agama,ras,dan antar golongan) dan penyelesaiaian dari
konflik yang terjadi tidak pernah selesai karena hanya diselesaikan dengan
symbol-simbol dan jargon-jargon yang hanya menjadi sehingganya kita gampang terpolitisir oleh
keadaan dengan maen set dari intelejen-intelejen “tikus” yang berwajah “kucing”
mandul agar tidak selalu dikatakan hulodu.
Degradasi
pengetahuan yang terjadi hari ini dengan krisis keintelektualan yang ada negeri
kiita (baca:kampus) karena hilangnya budaya-budaya diskusi dan tradisi-tradisi
perkumpulan yang secara proses akan mengubah pola sikap dan pola pikir dari
manusia-manusia yang masih menganggap dirinya sebagai mansia yang paling paripurna. Mungkin inilah
saatnya kita mencari titik temu dari berbagai diferents karena setiap perbedaan
serta warna akan selalu berkilau bila ia hadir dalam suasana yang damai pada
suatu integritas lingkaran dalam merumuskan dan menyusun suatu ide peradaban.
Mungkin menurut tukang bentor yang
selalu menjadi teman diskusi saya ada benarnya, ia mengatakan kita suda
melupakan kebiasaan lama yaitu kita perlu menghidupkan kembali budaya duduk
bersama sebagai tempat nongkrong dan diskusi dan selalu membawa kita paada
kuil-kuil sumber inspirasi dengan segelas kopi hangat
dan sebatang rokok sebagai bentuk penjernihan pola pikiran dari lapisan endapan-endapan
lumpur yan kotor dan busuk serta menjijikan yang hanya memproduksi kaum-kaum penjilat/oportunistis,
serta pragmatis yang hanya akan menjadi racun-racun biotik dan mereka-mereka
itulah yang harus diberengus dan di tembak mati dihalaman kampus.
Keanekaragaman
maupun multicultural sebenarnya tidak hanya merujuk pada kenyataan sosial
antropologis adanya pluralitas kelompok etnis, suku, bahasa bahkan perbedaan
mengenai ideology, bendera,simbol serta
keunikan dimasing-masing komunitas tetapi juga lahir dari sebuah asumsi sikap
demokratis dan pluralitas serta watak egaliter untuk bisa menerima keragaman
dan perbedaan persepsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar