Selasa, 27 Desember 2011

MENCARI TITIK TEMU DARI BERBAGAI PERBEDAAN


MENCARI TITIK TEMU DARI BERBAGAI PERBEDAAN
Oleh : Komunitas Warung Kopi (Che_Fikry’, Kamil, Eka)
            kadang kita mengenal demokrasi bagi gesekan-gesekan api panas yang siap meledakkan sbuah perdaban. Moment itu terjadi ketika mengenal warna tapi tidak mampu memahami warna tersebut ?. ada dikotomi dari beragam warna yang telah tersaji dari berbagai gerakan dan dihimpun menjadi satu integritas. Menurut teman diskusi saya dibutuhkan sebuah paradigma berpikir secara tuntas dan memilikki sebuah persfektif secara relasional antar variable yang determinan yang sejalan, senada dan seirama dalam menemukan sebuah sentrum dalam mengawal gagasan peradaban dan kebudayaan.
            Jika kita memahami segala konflik yang terjadi di Negara ini, baik yang antar suku, antar kampung, antar aparat dan warga kampus. Pasti kita mampu mengambil sebuah kesimpulan  dari peristiwa-peristiwa yang perna terjadi yaitu bahwa masyarakat kita tidak paham dengan konsep multikulturalisme sehingga segala peristiwa berdarah yang terjadi di berbagai daerah disemua level institusi kehidupan sosial hanya berlatar belakang penyakit SARA (suku,agama,ras,dan antar golongan) dan penyelesaiaian dari konflik yang terjadi tidak pernah selesai karena hanya diselesaikan dengan symbol-simbol dan jargon-jargon yang hanya menjadi  sehingganya kita gampang terpolitisir oleh keadaan dengan maen set dari intelejen-intelejen “tikus” yang berwajah “kucing” mandul agar tidak selalu dikatakan hulodu.
            Degradasi pengetahuan yang terjadi hari ini dengan krisis keintelektualan yang ada negeri kiita (baca:kampus) karena hilangnya budaya-budaya diskusi dan tradisi-tradisi perkumpulan yang secara proses akan mengubah pola sikap dan pola pikir dari manusia-manusia yang masih menganggap dirinya sebagai mansia yang paling paripurna. Mungkin inilah saatnya kita mencari titik temu dari berbagai diferents karena setiap perbedaan serta warna akan selalu berkilau bila ia hadir dalam suasana yang damai pada suatu integritas lingkaran dalam merumuskan dan menyusun suatu ide peradaban.
            Mungkin menurut tukang bentor yang selalu menjadi teman diskusi saya ada benarnya, ia mengatakan kita suda melupakan kebiasaan lama yaitu kita perlu menghidupkan kembali budaya duduk bersama sebagai tempat nongkrong dan diskusi dan selalu membawa kita paada kuil-kuil sumber inspirasi dengan segelas kopi hangat dan sebatang rokok sebagai bentuk penjernihan pola pikiran dari lapisan endapan-endapan lumpur yan kotor dan busuk serta menjijikan  yang hanya memproduksi kaum-kaum penjilat/oportunistis, serta pragmatis yang hanya akan menjadi racun-racun biotik dan mereka-mereka itulah yang harus diberengus dan di tembak mati dihalaman kampus.
            Keanekaragaman maupun multicultural sebenarnya tidak hanya merujuk pada kenyataan sosial antropologis adanya pluralitas kelompok etnis, suku, bahasa bahkan perbedaan mengenai ideology, bendera,simbol serta keunikan dimasing-masing komunitas tetapi juga lahir dari sebuah asumsi sikap demokratis dan pluralitas serta watak egaliter untuk bisa menerima keragaman dan perbedaan persepsi.
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar