Rabu, 12 Oktober 2011

GENDER DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT & TASAWUF

Dalam kajian filsafat Barat, manusia perempuan secara mayoritas dianggap sebagai makhluk yang lemah dan cacat, sehingga ia harus ditempat sebagai manusia kelas kedua setelah laki-laki. Mulai dari Plato (427-347 SM) yang idealis dan Aristoteles (384-322 SM) yang empirik sampai Jean-Paul Sartre (1905-1980 M) yang eksistensialis, hampir semuanya menganggap demikian. Paling-paling hanya Jhon Stuart Mill (1806-1873 M) yang ahli psikologi yang menganggap perempuan mempunyai kemampuan setara dengan laki-laki (lampiran).[1] Dalam filsafat Islam, meski ia dibangun diatas dasar pemikiran Plato dan Aristoteles, tetapi sangat berbeda dengan pendahulunya dan juga saudaranya di Barat.

Perspektif Filsafat.

Dalam tradisi pemikiran filsafat Islam, manusia perempuan tidak dibedakan dengan laki-laki tetapi justru diseterakan, sepanjang ia mempunyai kemampuan lebih. Stresingnya adalah kemampuan intelektua dan bukan jenis kelamin. Karena itu, ketika berbicara tentang puisi, al-Farabi (870-950 M), seorang tokoh filsafat Islam yang beraliran neo-paltonis, secara tegas menyatakan bahwa kriteria keunggulan sebuah puisi tidak ditentukan oleh siapa yang menyampaikan, laki-laki atau perempuan, melainkan oleh keindahan susunannya.[2]

Pernyataan tegas al-Farabi tersebut juga dapat dilihat dalam kriteria yang dibuatnya untuk pemimpin negara utama. Menurutnya, seorang pemimpin negara utama harus memiliki 12 sifat, antara lain, sehat jasmani, kesempurnaan intelektual dan suka keilmuan, kemampuan berbicara (orator), bermoral baik, bijak, memahami tradisi dan budaya bangsanya, dan kemampuan melahirkan peraturan yang tepat. Semuanya kriteria mengacu pada hal-hal yang bersifat intelektual dan spiritual. Al-Farabi sama sekali tidak mensyaratkan jenis kelamin tertentu, harus laki-laki seperti dalam kebanyakan fiqh, misalnya.[3]

Kesetaraan laki-laki perempuan dalam khazanah filsafat Islam juga dapat dibuktikan dalam pemikiran Ibn Rusyd (1126-1198 M), tokoh yang dikenal sebagai komentator Aristoteles. Ketika mengomentari buku “Republic” karya Plato, dimana Plato menyatakan bahwa perempuan adalah makhluk imitasi, Ibn Rusyd secara menolak statemen tersebut dengan menyatakan bahwa hal itu sangat menyesatkan. Sebab, menurutnya, perempuan pada kenyataannya bukan hanya makhluk yang sekedar pintar berdandan, melainkan juga mempunyai kemampuan berbicara yang baik dan juga intelektual yang mumpuni.[4]

Namun demikian, ketika berkaitan dengan hukum fiqh, Ibn Rusyd agaknya berhati-hati dan tidak memberikan tanggapan secara tegas. Dalam kasus imamah shalat bagi perempuan, misalnya, Ibn Rusyd tidak memberi hukum karena baginya hal itu tidak ada aturannya dalam nas. Begitu pula dalam soal jabatan sebagai hakim bagi peremuan. Meski demikian, Ibn Rusyd masih menjelaskan adanya pendapat-pendapat lain yang memperolehkan perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki dan menjadi hakim. Al-Thabari (836- 922 M) adalah tokoh yang memperbolehkan perempuan menjadi hakim dan imam shalat bagi makmum laki-laki.[5] Artinya, perempuan sesungguhnya tidak ditempatkan sebagai sub-ordinat laki-laki dalam fiqh Ibn Rusyd.

Penilain laki-laki perempuan yang tidak didasarkan atas jenis kelamin melainkan pada kemampuan intelektual dan spiritual seperti diatas tidak hanya dalam pemikiran al-Farabi maupun Ibn Rusyd. Ibn Sina (980-1037 M), salah seorang pemikir illuminatif Islam, juga menyatakan demikian.[6]

Perspektif Tasawuf.

Relasi laki-laki perempuan juga tampak adil dan setara dalam perspektif tasawuf. Hal ini disebabkan ajaran utama sufisme adalah kebersihan hati dalam upaya mencapai kedekatan dengan Tuhan. Persoalan utamanya adalah bagaimana mencapai Tuhan sedekat-dekatnya dan bahwa Dia semakin dirindukan dan dicintai. Untuk mencapai tingkat tersebut tidak ada syarat laki-laki, karena masing-masing orang, laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan yang sama.[7] Apalagi jika dikaitkan dengan konsep Ibn Arabi (1165-1240 M) yang kontroversial, yaitu wahdah al-wujud (kesatuan wujud) dan wahdah al-adyan (kesatuan agama). Dalam konsep ini Arabi menyatakan adanya kesatuan Tuhan dengan semesta dan kesatuan agama-agama.[8] Ketika diyakini bahwa tidak ada bedanya Islam dengan agama lain dan bahkan tidak ada jarak antara Tuhan dengan semesta, lalu apa artinya perbedaan laki-laki perempuan?

Lebih jauh, dalam upaya penyatuan diri dengan Tuhan, Ibn Arabi tidak melihat perempuan sebagai sumber maksiat melainkan sebagai sarana mencapai Tuhan. Cinta laki-laki kepada perempuan dan keinginan bersatu dengannya adalah symbol kecintaan dan kerinduan manusia kepada Tuhan dan sebaliknya. Dalam cinta perempuan terdapat cinta kepada Tuhan, dan essensi cintanya kepada kepada Tuhan. Dalam sebuah hadis juag diriwayatkan, tiga hal yang menjadi kesenangan Nabi: perempuan, farfum dan shalat.[9]

Tidak adanya strata antara laki-laki dan perempuan dalam sufisme Islam tersebut tidak hanya dalam konsep melainkan juga dalam pergaulan sehari-hari. Dalam kisah-kisah sufis, laki-laki bukan mahram secara rutin berkunjung kepada wanita sufi di rumahnya, menemui mereka di berbagai tempat dan berdiskusi tentangmasalah spiritual bersama mereka. Begitu pula perempuan mengunjungi laki-laki, duduk bersama mereka dan menyuarakan perasaan batin mereka. Selain itu, perempuan sufi juga mengikuti pertemuan-pertemuan kaum sufis dalam majlis zikr dan mengadakan kegiatan-kegiatan tersebut di rumah mereka yang dihadiri laki-laki.[10]

Kebersamaan mereka dilakukan secara wajar dan tanpa halangan. Fathimah istri Ahmad ibn Khazruya (w. 864 M) dikisahkan sering bertemu dengan Abu Yazid (w. 877 M) dan berdiskusi tentang spiritual dengannya tanpa menggunakan kerudung dan tutup tangan, sehingga perhiasan dan cat kukunya tampak. Suaminya cemburu dan mengecam Fathimah, tetapi Fathimah menjawab bahwa dalam hatinya hanya ada Tuhan.[11] Namun, menurut Roded, bebasnya pergaulan antara laki-laki dan perempuan sufi tersebut telah menyebabkan mereka dituduh melakukan tindakan yang tidak pantas dan kebanyakan penulis biografi sufi meragukan apakah pertemuan mereka benar-benar karena persoalan spiritual.[12]

Mengapa Bias Gender?

Pemikiran yang bias gender, sesungguhnya, tidak muncul sejak awal Islam. Semua literature klasik, paling tidak mayoritas, menyebutkan adanya relasi yang seimbang dan serata antara laki-laki dan perempuan. Kenyataan tersebut berlangsung sampai masa tabi`in. Mereka biasa dan dapat bergaul secara wajar dan “bebas”. Namun, pada kekuasaan Bani Umayyah, tepat masa pemerintahan al-Walid II (732-34 M), hubungan laki-laki perempuan mulai dipisahkan. Laki-laki ditempat tersendiri dan perempuan tersendiri.[13] Kebijakan tersebut, pada fase berikutnya, ternyata kemudian menggiring pada terpinggirkannya perempuan dan keterkungkungannya. Madzhab-madzhab fiqh (hukum) seperti Malik (716-795 M), Syafii (767-820), Ibn Hanbal (780-855 M) dan para pemikir hukum yang lain yang kebanyakan lahir pasca kebijakan tersebut, secara otomatis tidak dapat lepas dari kondisi yang ada. Keputusan-keputusan yang ditelorkan sedikit banyak pasti akan menopang kebijakan penguasa karena hukum memang diciptakan oleh dan untuk kepentingan penguasa.

Karena itu, pemikiran yang bias gender, lebih banyak –tidak semuanya-- didapati dalam hukum (fiqh) dan tafsir yang berkatan dengan hukum. Sementara itu, dalam kajian filsafat dan tawasuf yang tidak banyak bersentuhan dengan kepentingan penguasa, tampak lebih murni dan bebas dari bias gender. Inilah mestinya yang patut disosialisasikan.

DAFTAR PUSTAKA

AJ. Arberry, “Farabi’s Canons of Poetry” dalam Ralph Lerner, Averroes on Plato’s Republic, (London, Cornell University Press, 1974).

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, Logos, 1995),

Farabi, Mabadi` Ara Ahl al-Madinah al-Fadlilah, (Oxford, Clarendon Press, 1985)

Fariduddin Attar, Warisan Auliyah, (Bandung, Pustaka, 1994)

Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, (Jakarta, YJP, 2003)

Ibn al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, (Heiderabat, Loknow, 1938)

Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, I, (Beirut, Dar al-Fikr, tt),

Kautsar Azhari Nor, Ibn Arabi Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta, Paramadina, 1995).

M. Kamil, Ibn Sina Hayatuh Atsaruh wa Falsafatuh, (Beirut, Dar al-Ilmiyah, 1991).

Ruth Roded, Kembang Peradaban, (Bandung, Mizan, 1995)

Said Aqil Siraj, “Kepemimpinan Perempuan dalam Islam” dalam Shafia Hasyim (ed), Kepemimpinan Perempuan dalam Islam, (Surabaya, Intervisi, tt)



[1] Gadis Arivia, Filsafat Berperspektif Feminis, (Jakarta, YJP, 2003), 75-6.

[2] AJ. Arberry, “Farabi’s Canons of Poetry” sebagai yang dikutip Ralph Lerner untuk catatan kaki dalam Averroes on Plato’s Republic, (London, Cornell University Press, 1974), 26.

[3] Al-Farabi, Mabadi` Ara Ahl al-Madinah al-Fadlilah, (Oxford, Clarendon Press, 1985), 238 dan seterusnya.

[4] Ralph Lerner Averroes on Plato’s Republic, 27.

[5] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, I, (Beirut, Dar al-Fikr, tt), 105; II, 344.

[6] Lihat dalam M. Kamil, Ibn Sina Hayatuh Atsaruh wa Falsafatuh, (Beirut, Dar al-Ilmiyah, 1991).

[7] Said Aqil Siraj, “Kepemimpinan Perempuan dalam Islam” dalam Shafia Hasyim (ed), Kepemimpinan Perempuan dalam Islam, (Surabaya, Intervisi, tt), 54.

[8] Kajian mendalam masalah ini, lihat Kautsar Azhari Nor, Ibn Arabi Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan, (Jakarta, Paramadina, 1995).

[9] Said Aqil Siraj, Kepemimpinan Perempuan dalam Islam, 55.

[10] Lihat hubungan laki-laki perempuan sufi dalam kehidupan sehari-hari mereka ini dalam Ibn al-Jauzi, Shifat al-Shafwah, (Heiderabat, Loknow, 1938). Buku ini terdiri atas 4 jilid tebal dan berisi kisah-kisah kaum Sufis, laki-laki maupun perempuan dan hubungan diantara mereka.

[11] Fariduddin Attar, Warisan Auliyah, (Bandung, Pustaka, 1994), 220-21.

[12] Ruth Roded, Kembang Peradaban, (Bandung, Mizan, 1995), 179.

[13] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, Logos, 1995),

Tidak ada komentar:

Posting Komentar